Website Resmi SMP Negeri 1 Ile Ape Timur Kabupaten Lembata

Penanaman Pohon di Desa Lamawolo

Siswa Kelas VII SMP Negeri 1 Ile Ape Timur menanam pohon di Lokasi bencana Desa Lamawolo sebagaia rangkaian aktivitas projek P5 Tema Gaya Hidup Berkelanjutan.

Siswa Kelas VII mendesain poster dengan aplikasi canva untuk promosi wisata budaya Ile Ape Timur

Foto bersama setelah tanggungan misa hari minggu di Stasi Tokojaeng

Proses Syuting film Pendek

Bersama Duta Rumah Belajar melakukan syuting film pendek di Desa Lamawolo.

Siswa Kelas VIII SMPN 1 Ile AP Timur tampilkan buasana dan tarian daerah meriahkan acara pembagian buku rapor

Presentasi makalah oleh siswa kelas IX sebagai persyaratan kelulusan

Rabu, 11 Mei 2022

Kurikulum Merdeka; Sudah Siapkah Kita?

 

Kurikulum Merdeka; Sudah Siapkah Kita?

(Kristoforus Lera)

Tulisan ini adalah hasil refleksi saya atas pemberlakuan kurikulum baru yakni Kurikulum Merdeka yang saat ini sedang gencar disosialisasikan pada seluruh sekolah di Indonesia. Pada awal kemunculannya, saya merasa agak bingung dan penasaran, kenapa kurikulum berganti lagi. Ada banyak pertanyaan yang muncul di benak saya, apakah kurikulum sebelumnya tidak efektif, kurang sesuai dengan kebutuhan siswa, kurang sesuai dengan tuntutan zaman, atau kurang apalagi sehingga harus diganti. Jargon “ganti menteri ganti kurikulum” kembali hadir dalam benak saya mengiringi rasa penasaran saya.

Saya kemudian mencoba mengingat kembali pelaksanaan Kurikulum 2013 yang sampai saat ini juga masih berlaku di sebagian besar sekolah di Indonesia. Berdasarkan pengalaman saya, sejak diluncurkan pertama kali pada tahun 2013, yang diawali dengan sosialisasi dan pelatihan guru serta kepala sekolah yang juga sangat gencar seperti saat ini, hasil evaluasi pelaksanaannya belum pernah disosialisasikan ke sekolah. Data hasil evaluasi tingkat sekolah, tingkat kabupaten, dan tingkat propinsi oleh kementerian Pendidikan atau oleh Dinas Pendidikan sampai saat ini belum saya ketahui. Mungkin saya yang kurang update ataukah memang belum disosialisasikan sama sekali sehingga sampai saat ini bukan hanya saya, tetapi sharing sebagian besar guru di Lembata mereka juga belum tahu.

Situasi yang saya alami ini memicu banyak pertanyaan, apakah guru dan kepala sekolah sudah mengetahui hasil evaluasi Kurikulum 2013 di sekolahnya? Apakah guru dan kepala sekolah tahu kelemahan kurikulum sebelumnya? Apakah kurikulum ini perlu diganti?  Dan pertanyaan yang lebih menggelitik lagi yakni siapkah guru dan kepala sekolah mengimplementasikan kurikulum baru di sekolahnya masing-masing? Saya sampai berujar kepada rekan-rekan guru di sekolah, Kurikulum 2013 saja mungkin ada sekolah atau guru yang belum melaksanakannya atau bahkan belum mengetahuinya dan saat ini harus diganti lagi dengan kurikulum baru.

Apa itu Kurikulum merdeka?

Untuk menjawab rasa penasaran saya terhadap Kurikulum Merdeka, saya mencoba mencari berbagai informasi dari website Kementerian Pendidikan sampai pada materi-materi pelatihan yang berseliweran di WA grup. Setelah mencermati berbagai referensi, saya menemukan bahwa esensi dari Kurikulum Merdeka adalah menggali potensi terbesar para guru dan peserta didik untuk berinovasi dan meningkatkan kualitas pembelajaran secara mandiri. Kebijakan Merdeka Belajar memberikan kemerdekaan bagi unit pendidikan untuk berinovasi menyesuaikan dengan budaya, kearifan lokal, sosio-ekonomi dan infrastruktur yang ada. 

Alasan mendasar lain munculnya kurikulum ini adalah bahwa tidak efesiennya Kurikulum 2013 di sekolah ditinjau dari cakupan materi. Materi yang ada dalam rancangan kurikulum saat ini sangat padat, sehingga tidak cukup waktu untuk melakukan pembelajaran yang mendalam dan sesuai dengan tahap perkembangan peserta didik, apalagi di masa pandemi seperti ini. Ada banyak siswa yang tidak mampu memahami bacaan sederhana ataupun menerapkan konsep matematika dasar. Berangkat dari krisis pembelajaran tersebut, Kemendikbudristek Nadiem Anwar Makarim mengeluarkan kebijakan untuk menyederhanakan kurikulum pendidikan yang terlalu padat tidak efisien. Kurikulum sebelumnya yang kurang fleksibel diubah menjadi lebih fleksibel.

Dalam rilis yang disiarkan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, Nadiem menyebutkan beberapa keunggulan Kurikulum Merdeka. Pertama, lebih sederhana dan mendalam, karena kurikulum ini akan fokus pada materi yang esensial dan pengembangan kompetensi peserta didik pada fasenya.   Kemudian, tenaga pendidik dan peserta didik akan lebih merdeka karena bagi peserta didik, tidak ada program peminatan di SMA, peserta didik memilih mata pelajaran sesuai minat, bakat, dan aspirasinya. Sedangkan bagi guru, mereka akan mengajar sesuai tahapan capaian dan perkembangan peserta didik. Lalu sekolah memiliki wewenang untuk mengembangkan dan mengelola kurikulum dan pembelajaran sesuai dengan karakteristik satuan pendidikan dan peserta didik. 

Keunggulan lain dari penerapan Kurikulum Merdeka ini adalah lebih relevan dan interaktif di mana pembelajaran melalui kegiatan proyek akan memberikan kesempatan lebih luas kepada peserta didik untuk secara aktif mengeksplorasi isu-isu aktual, misalnya isu lingkungan, kesehatan, dan lainnya untuk mendukung pengembangan karakter dan kompetensi Profil Pelajar Pancasila.  

Implementasi Kurikulum Merdeka ini didukung melalui penyediaan berbagai macam fasilitas. Seperti penyediaan perangkat ajar: buku teks dan bahan ajar pendukung. Pelatihan dan penyediaan sumber belajar guru, kepala sekolah, dan lain-lain. Ada juga platform pembelajaran yang diluncurkan seperti Merdeka Mengajar. Melalui platform ini guru bisa mendapatkan pelatihan mandiri dan berkualitas, serta dapat mengaksesnya secara mandiri, kapan dan di manapun. Guru juga bisa berbagi karya kepada yang lain melalui platform ini.  Misalnya, guru membentuk komunitas belajar untuk saling berbagi praktik baik dalam menerapkan Kurikulum Merdeka, baik di sekolah maupun di komunitasnya.

Implementasi Kurikulum Merdeka di SMPN 1 Ile Ape Timur

Memang harus diakui pada kurikulum sebelumnya, muatan kurikulum terlalu padat sehingga mengurangi kreativitas guru dan siswa dalam pembelajaran. Guru lebih focus untuk menyelesaikan materi yang ada dalam silabus di mana materi tersebut sudah ditetapkan dari kementerian dan harus di selesaikan oleh satuan Pendidikan. Bagaimana siswa berproses secara baik seperti berpikir kritis, melakukan problem solving, mengkomunikasikan ide dan gagasan, mengembangkan literasi, kurang mendapat perhatian dari guru dalam pembelajaran. Padahal kompetensi-kompetensi inilah yang dibutuhkan siswa sebagai bekal hidup mereka kelak. Waktu terbatas menjadi alasan klasik untuk membenarkan tindakan ini. Alasan lain terkait metode pembelajaran yang juga menjadi sumber kelemahan kurikulum sebelumnya yakni pembelajaran berbasis proyek, kurang mendapat perhatian guru. Padahal model ini sangat baik di mana siswa diberi kebebasan untuk menyelesaikan sebuah proyek dengan segala potensi dan kreativitas yang dimiliki.

Situasi ini berubah Ketika pandemic covid 19 melanda. Karena keterbatasan waktu, Sekolah diberi kesempatan untuk mendesain kurikulum pembelajarannya sendiri termasuk materi yang akan diajar. Oleh karena itu, pada bulan November tahun 2021 ketika ditunjuk menjadi kepala sekolah di SMPN 1 Ile Ape Timur, saya langsung mengimplementasikan Kurikulum Mandiri di sekolah. Ada tiga tawaran kurikulum yang diberikan kementerian Pendidikan di tengah situasi darurat covid-19. Yang pertama, adalah satuan pendidikan tetap menggunakan kurikulum nasional, opsi kedua adalah menggunakan kurikulum darurat bagi satuan pendidikan yang membutuhkan kurikulum dengan standar dan kompetensi dasar yang lebih sederhana. Selanjutnya opsi ketiga adalah satuan pendidikan melakukan penyederhanaan kurikulum secara mandiri. Saya memilih opsi ketiga dalam implementasi kurikulum tahun pelajaran 2021-2022 karena saya berpikir bahwa sekolah lebih mengetahui kebutuhan pembelajaran saat ini sehingga akan lebih efektif jika sekolah menyusun sendiri kurikulumnya disesuaikan dengan kebutuhan siswa.

Implementasi Kurikulum Mandiri kami awali dengan menyusun dokumen Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Kami menyusun silabus dan bahan ajar berupa modul ajar untuk menjadi pedoman pembelajaran di sekolah. Silabus ini kami susun dengan mengambil beberapa kompetensi dasar pada setiap mata pelajaran dan juga penambahan KD tertentu oleh guru mata pelajaran disesuaikan dengan kebutuhan siswa. Kegiatan belajar mengajar di kelas dilakukan selama empat hari (Senin-Kamis) sementara hari Jumat dan Sabtu untuk kegiatan literasi dan pengembangan diri.   

Kurikulum mandiri yang kami implementasikan di sekolah berfokus pada penguatan karakter, literasi, dan penguasaan teknologi informasi. Kami menyediakan waktu khusus pada jam regular sekolah setiap hari Jumat dan Sabtu untuk mendukung kegiatan ini. Literasi yang kami kembangkan dilaksanakan setiap hari Sabtu dengan beberapa kegiatan yakni; membaca buku dan menulis sinopsis (satu buku setiap bulan), menulis rubrik bulletin sekolah (buletin diterbitkan setiap semester), mengisi tulisan/karya di website sekolah, dan menulis renungan mingguan (sesuai agama masing-masing). Pada kegiatan pengembangan diri siswa memilih salah satu bidang sesuai bakat dan minat yang selanjutnya dibimbing setiap hari Jumat (Karya Ilmiah Remaja, Olimpiade Matematika, IPA, IPS, Vokal grup, melukis, futsal, voli, badminton, dan atletik).

Untuk pengembangan karakter spiritual dilakukan kegiatan pembiasaan yakni berdoa dan mendengarkan renungan harian (hasil tulisan siswa dalam kegiatan literasi) pada setiap apel pagi, sedangkan untuk pengembangan karakter sosial dilakukan beberapa kegiatan pembiasaan di sekolah yakni penegakan disiplin harian (datang tepat waktu dan laksanakan piket harian) serta pembiasaan gerakan “senyum, sapa, salam”. Selanjutnya untuk pengembangan teknologi informasi saya menerapkan program digitalisasi sekolah di mana para guru dilatih menggunakan teknologi dalam pembelajaran. Guru melakukan pembelajaran menggunakan bahan ajar digital (modul/media digital) dan juga melakukan penilaian dengan menggunakan aplikasi pembelajaran digital (google form, Ispring suite,dll). Sedangkan para siswa dilatih untuk trampil menggunakan Microsoft office dan Internet dalam pembelajaran. Pembelajaran TIK untuk siswa di sekolah difokuskan pada kedua kompetensi ini yakni penguasaan Microsoft office dan penggunaan internet.

Dengan beragam aktivitas sekolah yang kami jalankan dalam kurikulum mandiri yang sudah kami kembangkan, saya kemudian membandingkan dengan ulasan tentang implementasi Kurikulum Merdeka yang saat ini sedang digalakkan. Saya berasumsi bahwa kurikulum merdeka yang digaungkan saat ini prototipenya sudah kami jalankan di sekolah kami walaupun dalam implementasi yang masih terbatas. Artinya kami bisa bernapas lega bahwa apa yang sudah kami laksanakan selama ini tidak keliru atau menyimpang jauh dari kurikulum baru yang sedang diujicobakan. Kami butuh beberapa penyesuaian lagi dalam implementasinya seperti focus pembelajaran di kelas pada pembelajaran berbasis proyek (project Based Learning), modul ajar atau bahan ajar untuk guru dan siswa, pembelajaran berbasis IT, dan assessment pembelajaran yang lebih utuh.

Analisis kesiapan Sekolah

Setiap kebijakan yang dibuat tentunya dimaksudkan untuk kebaikan bersama. Pembuat kebijakan di negara ini pasti sudah memperhitungkan berbagai aspek sebelum memutuskan untuk digunakan. Demikian juga Kurikulum Merdeka yang saat ini sedang gencar disosialisasikan dan diimplementasikan di sekolah-sekolah. Pasti ada banyak hal baik, ada banyak inovasi yang lebih baik untuk meningkatkan kualitas Pendidikan di Indonesia sesuai kebutuhan global saat ini. Tetapi yang menjadi pertanyaan adalah sejauh mana kesiapan sekolah dalam hal sumber daya guru dan kepala sekolah serta fasilitas pendukung dalam menyambut kurikulum ini.

Dari pengalaman pribadi saya sebagai pendidik yang sudah bekerja lebih dari sepuluh tahun, saya melihat bahwa semua kurikulum yang diimplementasikan di sekolah pada dasarnya sudah sangat baik dan sesuai dengan tuntutan kebutuhan siswa saat ini. Yang menjadi masalah adalah sejauh mana kurikulum itu bisa diterapkan pada seluruh lapisan sekolah baik di kota ataupun di pelosok dan di desa-desa terpencil. Sering kali kebijakan yang bagus tidak berujung baik, karena ketidakmampuan sekolah untuk menerapkan kebijakan itu. Kita tidak ingin kurikulum ini bernasib sama seperti kurikulum-kurikulum sebelumnya. Belum merata diimplementasikan tetapi sudah divonis gagal dan harus segera berganti atau seperti pepatah lama mengatakan layu sebelum berkembang.

Oleh karena itu, kurikulum baru ini harus benar-benar disosialisasikan secara baik, harus sampai pada akar rumput.  Perlu dipastikan bahwa semua komponen sekolah memahami inti dari aturan ini, sehingga mereka mampu menerapkannya dalam proses pembelajaran. Dan yang paling penting adalah pendampingan, pengawasan dan evaluasi yang harus dilakukan secara berkala. Semua pemangku kebijakan mulai dari pusat sampai kabupaten harus mengambil peran ini jika ingin implementasi kurikulum ini berhasil. Pengalaman selama ini sudah membuktikan demikian. Jangan sampai jargon “ganti menteri ganti kurikulum” menjadi terbukti.