Kurikulum
Merdeka; Sudah Siapkah Kita?
(Kristoforus Lera)
Tulisan ini adalah hasil
refleksi saya atas pemberlakuan kurikulum baru yakni Kurikulum Merdeka yang
saat ini sedang gencar disosialisasikan pada seluruh sekolah di Indonesia. Pada
awal kemunculannya, saya merasa agak bingung dan penasaran, kenapa kurikulum
berganti lagi. Ada banyak pertanyaan yang muncul di benak saya, apakah
kurikulum sebelumnya tidak efektif, kurang sesuai dengan kebutuhan siswa,
kurang sesuai dengan tuntutan zaman, atau kurang apalagi sehingga harus
diganti. Jargon “ganti menteri ganti kurikulum” kembali hadir dalam benak saya
mengiringi rasa penasaran saya.
Saya kemudian mencoba mengingat
kembali pelaksanaan Kurikulum 2013 yang sampai saat ini juga masih berlaku di
sebagian besar sekolah di Indonesia. Berdasarkan pengalaman saya, sejak
diluncurkan pertama kali pada tahun 2013, yang diawali dengan sosialisasi dan pelatihan
guru serta kepala sekolah yang juga sangat gencar seperti saat ini, hasil
evaluasi pelaksanaannya belum pernah disosialisasikan ke sekolah. Data hasil
evaluasi tingkat sekolah, tingkat kabupaten, dan tingkat propinsi oleh
kementerian Pendidikan atau oleh Dinas Pendidikan sampai saat ini belum saya
ketahui. Mungkin saya yang kurang update ataukah memang belum
disosialisasikan sama sekali sehingga sampai saat ini bukan hanya saya, tetapi
sharing sebagian besar guru di Lembata mereka juga belum tahu.
Situasi yang saya alami
ini memicu banyak pertanyaan, apakah guru dan kepala sekolah sudah mengetahui hasil
evaluasi Kurikulum 2013 di sekolahnya? Apakah guru dan kepala sekolah tahu
kelemahan kurikulum sebelumnya? Apakah kurikulum ini perlu diganti? Dan pertanyaan yang lebih menggelitik lagi
yakni siapkah guru dan kepala sekolah mengimplementasikan kurikulum baru di
sekolahnya masing-masing? Saya sampai berujar kepada rekan-rekan guru di
sekolah, Kurikulum 2013 saja mungkin ada sekolah atau guru yang belum melaksanakannya
atau bahkan belum mengetahuinya dan saat ini harus diganti lagi dengan
kurikulum baru.
Apa itu Kurikulum
merdeka?
Untuk menjawab rasa
penasaran saya terhadap Kurikulum Merdeka, saya mencoba mencari berbagai
informasi dari website Kementerian Pendidikan sampai pada materi-materi
pelatihan yang berseliweran di WA grup. Setelah mencermati berbagai referensi,
saya menemukan bahwa esensi dari Kurikulum Merdeka adalah menggali potensi terbesar
para guru dan peserta didik untuk berinovasi dan meningkatkan kualitas
pembelajaran secara mandiri. Kebijakan Merdeka Belajar memberikan kemerdekaan
bagi unit pendidikan untuk berinovasi menyesuaikan dengan budaya, kearifan
lokal, sosio-ekonomi dan infrastruktur yang ada.
Alasan mendasar lain
munculnya kurikulum ini adalah bahwa tidak efesiennya Kurikulum 2013 di sekolah
ditinjau dari cakupan materi. Materi yang ada dalam rancangan kurikulum saat
ini sangat padat, sehingga tidak cukup waktu untuk melakukan pembelajaran yang
mendalam dan sesuai dengan tahap perkembangan peserta didik, apalagi di masa
pandemi seperti ini. Ada banyak siswa yang tidak mampu memahami bacaan
sederhana ataupun menerapkan konsep matematika dasar. Berangkat dari
krisis pembelajaran tersebut, Kemendikbudristek Nadiem Anwar Makarim
mengeluarkan kebijakan untuk menyederhanakan kurikulum pendidikan yang terlalu
padat tidak efisien. Kurikulum sebelumnya yang kurang fleksibel diubah menjadi
lebih fleksibel.
Dalam rilis yang
disiarkan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, Nadiem
menyebutkan beberapa keunggulan Kurikulum Merdeka. Pertama, lebih sederhana dan
mendalam, karena kurikulum ini akan fokus pada materi yang esensial dan
pengembangan kompetensi peserta didik pada fasenya. Kemudian, tenaga
pendidik dan peserta didik akan lebih merdeka karena bagi peserta didik, tidak
ada program peminatan di SMA, peserta didik memilih mata pelajaran sesuai
minat, bakat, dan aspirasinya. Sedangkan bagi guru, mereka akan mengajar sesuai
tahapan capaian dan perkembangan peserta didik. Lalu sekolah memiliki wewenang
untuk mengembangkan dan mengelola kurikulum dan pembelajaran sesuai dengan
karakteristik satuan pendidikan dan peserta didik.
Keunggulan lain dari penerapan
Kurikulum Merdeka ini adalah lebih relevan dan interaktif di mana pembelajaran
melalui kegiatan proyek akan memberikan kesempatan lebih luas kepada peserta
didik untuk secara aktif mengeksplorasi isu-isu aktual, misalnya isu
lingkungan, kesehatan, dan lainnya untuk mendukung pengembangan karakter dan
kompetensi Profil Pelajar Pancasila.
Implementasi Kurikulum
Merdeka ini didukung melalui penyediaan berbagai macam fasilitas. Seperti
penyediaan perangkat ajar: buku teks dan bahan ajar pendukung. Pelatihan dan
penyediaan sumber belajar guru, kepala sekolah, dan lain-lain. Ada juga
platform pembelajaran yang diluncurkan seperti Merdeka Mengajar. Melalui
platform ini guru bisa mendapatkan pelatihan mandiri dan berkualitas, serta
dapat mengaksesnya secara mandiri, kapan dan di manapun. Guru juga bisa berbagi
karya kepada yang lain melalui platform ini. Misalnya, guru membentuk
komunitas belajar untuk saling berbagi praktik baik dalam menerapkan Kurikulum
Merdeka, baik di sekolah maupun di komunitasnya.
Implementasi
Kurikulum Merdeka di SMPN 1 Ile Ape Timur
Memang harus diakui
pada kurikulum sebelumnya, muatan kurikulum terlalu padat sehingga mengurangi
kreativitas guru dan siswa dalam pembelajaran. Guru lebih focus untuk
menyelesaikan materi yang ada dalam silabus di mana materi tersebut sudah
ditetapkan dari kementerian dan harus di selesaikan oleh satuan Pendidikan.
Bagaimana siswa berproses secara baik seperti berpikir kritis, melakukan
problem solving, mengkomunikasikan ide dan gagasan, mengembangkan literasi, kurang
mendapat perhatian dari guru dalam pembelajaran. Padahal kompetensi-kompetensi
inilah yang dibutuhkan siswa sebagai bekal hidup mereka kelak. Waktu terbatas
menjadi alasan klasik untuk membenarkan tindakan ini. Alasan lain terkait
metode pembelajaran yang juga menjadi sumber kelemahan kurikulum sebelumnya yakni
pembelajaran berbasis proyek, kurang mendapat perhatian guru. Padahal model ini
sangat baik di mana siswa diberi kebebasan untuk menyelesaikan sebuah proyek
dengan segala potensi dan kreativitas yang dimiliki.
Situasi ini berubah
Ketika pandemic covid 19 melanda. Karena keterbatasan waktu, Sekolah diberi
kesempatan untuk mendesain kurikulum pembelajarannya sendiri termasuk materi
yang akan diajar. Oleh karena itu, pada bulan November tahun 2021 ketika
ditunjuk menjadi kepala sekolah di SMPN 1 Ile Ape Timur, saya langsung
mengimplementasikan Kurikulum Mandiri di sekolah. Ada tiga tawaran kurikulum
yang diberikan kementerian Pendidikan di tengah situasi darurat covid-19. Yang pertama, adalah satuan
pendidikan tetap menggunakan kurikulum nasional, opsi kedua adalah menggunakan
kurikulum darurat bagi satuan pendidikan yang membutuhkan kurikulum dengan
standar dan kompetensi dasar yang lebih sederhana. Selanjutnya opsi ketiga
adalah satuan pendidikan melakukan penyederhanaan kurikulum secara mandiri.
Saya memilih opsi ketiga dalam implementasi kurikulum tahun pelajaran 2021-2022
karena saya berpikir bahwa sekolah lebih mengetahui kebutuhan pembelajaran saat
ini sehingga akan lebih efektif jika sekolah menyusun sendiri kurikulumnya
disesuaikan dengan kebutuhan siswa.
Implementasi Kurikulum
Mandiri kami awali dengan menyusun dokumen Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan.
Kami menyusun silabus dan bahan ajar berupa modul ajar untuk menjadi pedoman
pembelajaran di sekolah. Silabus ini kami susun dengan mengambil beberapa
kompetensi dasar pada setiap mata pelajaran dan juga penambahan KD tertentu
oleh guru mata pelajaran disesuaikan dengan kebutuhan siswa. Kegiatan belajar
mengajar di kelas dilakukan selama empat hari (Senin-Kamis) sementara hari Jumat
dan Sabtu untuk kegiatan literasi dan pengembangan diri.
Kurikulum mandiri yang
kami implementasikan di sekolah berfokus pada penguatan
karakter, literasi, dan penguasaan teknologi informasi. Kami menyediakan
waktu khusus pada jam regular sekolah setiap hari Jumat dan Sabtu untuk
mendukung kegiatan ini. Literasi yang kami kembangkan dilaksanakan setiap hari
Sabtu dengan beberapa kegiatan yakni; membaca buku dan menulis sinopsis (satu
buku setiap bulan), menulis rubrik bulletin sekolah (buletin diterbitkan setiap
semester), mengisi tulisan/karya di website sekolah, dan menulis renungan
mingguan (sesuai agama masing-masing). Pada kegiatan pengembangan diri siswa
memilih salah satu bidang sesuai bakat dan minat yang selanjutnya dibimbing
setiap hari Jumat (Karya Ilmiah Remaja, Olimpiade Matematika, IPA, IPS, Vokal
grup, melukis, futsal, voli, badminton, dan atletik).
Untuk pengembangan
karakter spiritual dilakukan kegiatan pembiasaan yakni berdoa dan mendengarkan
renungan harian (hasil tulisan siswa dalam kegiatan literasi) pada setiap apel
pagi, sedangkan untuk pengembangan karakter sosial dilakukan beberapa kegiatan
pembiasaan di sekolah yakni penegakan disiplin harian (datang tepat waktu dan
laksanakan piket harian) serta pembiasaan gerakan “senyum, sapa, salam”. Selanjutnya
untuk pengembangan teknologi informasi saya menerapkan program digitalisasi
sekolah di mana para guru dilatih menggunakan teknologi dalam pembelajaran.
Guru melakukan pembelajaran menggunakan bahan ajar digital (modul/media
digital) dan juga melakukan penilaian dengan menggunakan aplikasi pembelajaran
digital (google form, Ispring suite,dll). Sedangkan para siswa dilatih untuk
trampil menggunakan Microsoft office dan Internet dalam pembelajaran.
Pembelajaran TIK untuk siswa di sekolah difokuskan pada kedua kompetensi ini
yakni penguasaan Microsoft office dan penggunaan internet.
Dengan beragam
aktivitas sekolah yang kami jalankan dalam kurikulum mandiri yang sudah kami
kembangkan, saya kemudian membandingkan dengan ulasan tentang implementasi Kurikulum
Merdeka yang saat ini sedang digalakkan. Saya berasumsi bahwa kurikulum merdeka
yang digaungkan saat ini prototipenya sudah kami jalankan di sekolah kami walaupun
dalam implementasi yang masih terbatas. Artinya kami bisa bernapas lega bahwa
apa yang sudah kami laksanakan selama ini tidak keliru atau menyimpang jauh
dari kurikulum baru yang sedang diujicobakan. Kami butuh beberapa penyesuaian lagi
dalam implementasinya seperti focus pembelajaran di kelas pada pembelajaran
berbasis proyek (project Based Learning), modul ajar atau bahan ajar untuk guru
dan siswa, pembelajaran berbasis IT, dan assessment pembelajaran yang lebih utuh.
Analisis kesiapan
Sekolah
Setiap kebijakan yang
dibuat tentunya dimaksudkan untuk kebaikan bersama. Pembuat kebijakan di negara
ini pasti sudah memperhitungkan berbagai aspek sebelum memutuskan untuk
digunakan. Demikian juga Kurikulum Merdeka yang saat ini sedang gencar
disosialisasikan dan diimplementasikan di sekolah-sekolah. Pasti ada banyak hal
baik, ada banyak inovasi yang lebih baik untuk meningkatkan kualitas Pendidikan
di Indonesia sesuai kebutuhan global saat ini. Tetapi yang menjadi pertanyaan
adalah sejauh mana kesiapan sekolah dalam hal sumber daya guru dan kepala
sekolah serta fasilitas pendukung dalam menyambut kurikulum ini.
Dari pengalaman pribadi
saya sebagai pendidik yang sudah bekerja lebih dari sepuluh tahun, saya melihat
bahwa semua kurikulum yang diimplementasikan di sekolah pada dasarnya sudah
sangat baik dan sesuai dengan tuntutan kebutuhan siswa saat ini. Yang menjadi
masalah adalah sejauh mana kurikulum itu bisa diterapkan pada seluruh lapisan
sekolah baik di kota ataupun di pelosok dan di desa-desa terpencil. Sering kali
kebijakan yang bagus tidak berujung baik, karena ketidakmampuan sekolah untuk
menerapkan kebijakan itu. Kita tidak ingin kurikulum ini bernasib sama seperti
kurikulum-kurikulum sebelumnya. Belum merata diimplementasikan tetapi sudah
divonis gagal dan harus segera berganti atau seperti pepatah lama mengatakan
layu sebelum berkembang.
Oleh karena itu,
kurikulum baru ini harus benar-benar disosialisasikan secara baik, harus sampai
pada akar rumput. Perlu dipastikan bahwa
semua komponen sekolah memahami inti dari aturan ini, sehingga mereka mampu menerapkannya
dalam proses pembelajaran. Dan yang paling penting adalah pendampingan,
pengawasan dan evaluasi yang harus dilakukan secara berkala. Semua pemangku
kebijakan mulai dari pusat sampai kabupaten harus mengambil peran ini jika
ingin implementasi kurikulum ini berhasil. Pengalaman selama ini sudah
membuktikan demikian. Jangan sampai jargon “ganti menteri ganti kurikulum”
menjadi terbukti.