Website Resmi SMP Negeri 1 Ile Ape Timur Kabupaten Lembata

Rabu, 14 Juni 2023

PERTEMUAN YANG TERTUNDA

 PERTEMUAN YANG TERTUNDA

Litgardis Dai Kokomaking)

26 Oktober 2022, seperti biasanya saya pergi ke sekolah. Terlihat semua siswa bergegas ke sekolah. Murid- murid di sekolah berasal dari Desa Lamawolo, Bao Lali Duli, Lamau, dan Desa Ebak. Mereka berjalan beriring seperti semut yang saling mencari makanan. Begitu ramai walaupun kami di desa. Dalam perjalanan mereka berbagi cerita antara satu dengan yang lain. Begitu pun au dan teman saya. Tanpa sadar kami telah tiba di pintu gerbang sekolah. Kami berjalan menuju ke dalam gerbang sekolah. Sekolah kami terletak strategis di atas sebuah bukit Desa Lamatokan, Kecamatan Ile Ape Timur, Kabupaten Lembata. Nama sekolahku SMP Negeri 1 Ile Ape Timur atau biasa disebut Spensa ILTIM.

Sesampai di sekolah tampak semua siswa sibuk membersihkan lingkungan sekolah. Ada yang membersihkan di ruang kelas. Ada beberapa siswa yang telah ditugaskan untuk membersihkan ruang kepala sekolah, ruang guru, dan beberapa ruangan yang ada di sekolahku. Semuanya itu kami lakukan dengan tanggung jawab walaupun masih ada sebagian teman- temanku yang cuek dengan tugasnya.

Sekitar 15 menit lamanya membersihkan lingkungan terdengar bel berbunyi pertanda kegiatan apel pagi untuk memulai proses belajar mengajar. Hari itu adalah tanggungan kelasku untuk menjadi petugas apel bendera. Guru piket yang bertugas memberi arahan singkat pada saat apel bersama kemudian kami pun dibubarkan untuk masuk ke kelas. Dalam kelas kami begitu bergembira karena pagi itu les IPA yang menyenangkan dari Ibu Matilda Bhoa. Kami senang karena ibu gurunya menjelaskan dengan ramah dan selalu memberi kami ruang berdiskusi dan memecahkan soal bersama. Tak terasa bel kembali berbunyi pertanda pergantian les. Terdengar suara sepatu yang berjalan menuju ke kelas kami. Batinku bergumam karena saya sudah tahu kalau itu adalah wali kelasku. Yohanes Paulus Ola adalah guru wali kelas VIII sejak kami masuk sekolah. Beliau seorang yang tegas dan tetap pendirian. Setiap kali kedatangan wali kelasku selalu saja debaran jantung tak menentu karena ada perasaan takut padanya. Kelasku terasa sunyi seketika karena kehadiran wali kelasku. “Selamat pagi semuanya”, ucap Pak Yohanes dengan tegas. “Selamat pagi juga, Pak guru”, balas kami. “Pagi ini kalian akan berpisah dengan salah seorang teman kalian karena akan pindah ke sekolah baru di Lewoleba.”, Lanjut wali kelasku.

Seketika kelas kami hening dan kaku. Kami semua tertunduk sedih. Ku tatap wajah Ebi, teman kami yang akan berpisah dengan kami. Wajahnya memerah karena mendengar penjelasan lagi dari wali kelas kami. Ebi seorang siswa pendiam. Namun, dia sangat baik pada kami. Rambut lurus dan kulitnya putih membuat dirinya sangat cantik dan berbeda dengan kami. Memang, Ebi berketurunan campuran. Mamanya berasal dari Jawa sehingga memang ku akui dirinya memang cantik.

Kali ini Ebi harus pindah dan berpisah dengan kami karena alasan domisili. Pasca Badai seroja melanda Desa Lamawolo 04 April 2021 silam, pemerintah Kabupaten Lembata menginstruksikan agar Desa Lamawolo direlokasi. Ebi merupakan salah satu korban dari bencana tersebut. Keluarganya yang lain telah direlokasi dan tinggal di Tana Mera (tempat yang baru). Sedangkan Ebi sendiri memutuskan untuk tetap melanjutkan sekolah bersama kami. Namun, takdir berkata lain. Ntah, kondisi dalam keluarga Ebi seperti apa terpaksa dia harus pindah dan berpisah dari kami.

Kutatap wajah Ebi tertunduk dan sesekali mengangkat mukanya menatap lemah ke arah kami. Kuhampiri dirinya dan bertanya padanya. “Ebi, apa benar kamu akan pindah sekolah?”

“Saya akan pindah ke Sekolah St. Theresia Lewoleba”. Ungkap Ebi. Saat itu diantara kami sudah tau kalau beberapa hari kedepan Ebi akan pindah. Kami seolah tidak percaya omongan Ebi.Hari Rabu, tanggal 02 Oktober 2023 saat itu sekolah menggelar rapat bersama orang tua/ wali murid kelas VII. Kami sekelas diberi tugas oleh Bapak/ Ibu guru untuk mengerjakan tugas di dalam kelas. Pertemuan para guru dan orang tua berlangsung lama sehingga kami pun belajar secara mandiri. Terdengar bel berbunyi pertanda istirahat. Semua siswa berhamburan dari dalam kelas. Ada yang menuju kantin sekolah berjajakan makanan ringan dan ada yang saling bercerita bersama teman di bawah pohon. Semua terlihat bergembira dan bersenang- senang.

Berbeda dengan temanku, Ebi. Dia hanya duduk terdiam, termenung dan memancarkan kesedihan di wajahnya. “Sepertinya Ebi sedang memikirkan sesuatu yang berat. Kasihannnnn.”, aku membatin.

Bel berbunyi pertanda waktu istirahat telah usai. Kami semua berhenti dari aktivitas bermain dan kembali masuk ke kelas. Aku menghampiri Ebi dan ku kagetkan dia. “Ebi…. apa yang kamu pikirkan?”, gertakku. Tiba- tiba terdengar suara sepatu berbunyi menghampiri kelas kami. “Pak guru”, bisikku kepada teman lainnya. Kelas kami hening seketika. Kami tidak tahu apa maksud kedatangan wali kelas kami.

“Ada informasi apa ya, kita dikunjungi oleh wali kelas kita?”, bisik aku pada Fika. “Mungkin Pak guru memberitahu kita kalau ada Hari Ulang Tahun diantara kita”, ujar Fika. Memang wali kelasku membawa dengan beberapa bungkus permen di tangannya. Mungkin saja pemberian dari orang tua Ebi untuk berpamitan sama teman- teman sekelas.

Suasana kelas sedikit berisik dengan suasana baru itu. Biasanya wali kelas kami tidak membawa gula- gula. Seketika pak guru mendiamkan kami dan menyampaikan informasi kepada kami. “baik, adik- adik…. Hari ini kelas kita akan membuat sebuah cerita baru. Pertemuan diantara kita harus tertunda karena Ebi harus berpisah dengan kita hari ini juga”, ungkap pak guru kami.

Mendengar kabar itu, semua siswa yang semulanya bergembira dan bahagia kini berubah menjadi sedih. Pancaran kebahagiaan pada wajah berubah sedih seketika. Sedarinya cerah seperti langit yang bercahaya kini berubah menjadi langit yang diselimuti mendung seakan hujan. Semua siswa kelas VIII A benar- benar berubah menjadi sedih.

Ebi kemudian dipersilahkan oleh Pak Guru untuk maju berdiri di depan kelas dan pak guru mempersilahkan kami memberi salam padanya. Suasana haru bercampur sedih menyelimuti kelas kami. Kami semuanya menangis. Aku tak kuasa menahan tangis dikala tanganku berjabatan dengan Ebi. Tangan terasa lema dan hati tak kuasa menahan kesedihan ini. Satu persatu siswa maju bersalaman dengan Ebi. Ada yang memeluknya sambil menangis. Dibalik kesedihan itu, namun ada teman- temanku juga terlihat berusaha tersenyum bahagia agar terlihat kuat dan menyemangati Ebi.

Ebi hanya menangis dan tertunduk. Ebi sangat sedih. Wajahnya terlihat memerah dan pucat. Situasi bertambah sedih lagi saat Ebi kembali menyapa semuanya dan mengucapkan kata terima kasih pada teman- temannya sambil meneteskan air matanya. Kami semua ikut menangis.

Usai bersalaman, pak guru mempersilakan Ebi untuk mengambil tas bawaannya untuk menuju ke ruang tunggu karena ayahnya telah menunggu. Saat itu pun kami semua merasa kehilangan teman dekat. Ebi mengambil tas nya dan keluar dari ruangan. Kami semua berlari sambil menangis dan memeluk Ebi seakan tak melepaskan ia pergi dari kami. Semua siswa menahan Ebi agar jangan pulang.

Melihat situasi tersebut akhirnya, Pak guru wali kelas ku memberitahukan ke ayah Ebi bahwa teman- teman Ebi memintanya untuk tetap bersama mereka hingga akhir jam pelajaran. Akhirnya, ayah Ebi pun setuju. Suasana kembali bergembira. Semua siswa meloncat kegirangan karena Ebi belum pulang. Kebersamaan kami dengan Ebi terhitung jam. Karena kami tahu bahwa persahabatan yang telah dijalin sejak kami kelas VII akan putus di tengah jalan. Pertemuan yang sudah menjadi sebuah cerita yang menarik akan tertunda karena situasi dan kondisi.

Bel siang telah berbunyi pertanda saatnya pulang sekolah. Kami semua bergegas keluar ruangan menuju ke lokasi apel siang. Di sana terlihat pak guru piket telah menanti kami. Terlihat Ebi berjalan loyoh dan tak bersemangat. Begitu pun sahabat- sahabatnya. Aku sendiri pun mengalami kondisi batin yang kian tersiksa. Sungguh tega sahabat baikku yang baik padaku kini pergi meninggalkan kami. “Setiap ada perjumpaan tentu ada perpisahan. Jika ada perpisahan mengapa ada pertemuan untuk kami?”, gumamku dalam batin. Kini kami dipulangkan oleh pak guru piket setelah mendengarkan arahan singkatnya.

Keesokan harinya kami kembali ke sekolah. Saat itu, situasi benar- benar berubah dari biasanya. Ku toleh ke arah belakang pas tempat duduknya Ebi. perasaan sedih menyelimuti hatiku Karena terlihat kursi dan meja kosong tanpa penghuni. Kubayangkan senyum Ebi dikala ku sapa dia saat ia di tempat duduknya. Begitupun teman- temanku yang lain saling bertanya dan bercerita tentang kebaikan Ebi. Rasa haru bercampur sedih di hari pertama kami tak bersama Ebi lagi. Biasanya segala sesuatu yang kita jalani saat ini belum dirasakan sebenarnya perasaan kita namun bila kenangan itu berlalu kita akan mengingat bahkan menyesal akan setiap peristiwa itu. Kami sadar bahwa perpisahan bukan akhir dari segalanya, namun kepergian Ebi adalah awal dari perjuangan Ebi dan kami yakin suatu hari nanti kami akan berjumpa kembali dengan Ebi dalam suasana kebersamaan dikala kami di dalam kelas. Sampai jumpa Ebi, kami kelas VIII A selalu mendoakan perjalanan sekolahmu di Sta. Thresia Lamahora, semoga sukses sampai selesai. Lewat cerita saya ini kutitip Salam Kangen buatmu sahabatku, Ebi Wahang.

0 comments:

Posting Komentar